KOMPAS.com — Tamatnya riwayat Kereta Api Parahyangan bukan hanya memupus kenangan pada kereta itu, melainkan juga memberikan pelajaran tentang kegagalan negara menyediakan transportasi publik yang murah dan ramah lingkungan. ”Selamat tinggal kereta api, selamat datang jalan tol,” kata Yayat Supriatna, pengajar Tata Kota di Fakultas Teknik Universitas Trisakti, menyikapi dihentikannya operasi KA Parahyangan. ”Ini baru awal dari kematian kereta api di Jawa. Setelah jalan tol lintas Jawa selesai, kereta api di Jawa pasti akan senasib dengan KA Parahyangan,” kata Yayat. Padahal, kematian kereta, kata Yayat, bisa diartikan dengan matinya angkutan massal yang murah sehingga terjangkau rakyat dan hemat bahan bakar sehingga ramah lingkungan. Di mata Yayat, matinya KA Parahyangan oleh Tol Cipularang tak bisa dimungkiri lagi. Melalui jalan tol yang dioperasikan tahun 2005 itu, waktu tempuh Jakarta-Bandung sejauh 180 kilometer terpangkas dari empat jam menjadi dua jam. Kereta yang tidak didukung akses dari dan ke stasiun yang baik akhirnya tersisih. Dampaknya, KA Parahyangan terus merugi karena sepi penumpang. Vice President Pemasaran Angkutan Penumpang PT Kereta Api (KA) Husein Nurroni, Jumat (16/4/2010) di Bandung, menyebutkan, kerugian PT KA dalam pengoperasian KA Parahyangan pada tahun 2009 mencapai Rp 36 miliar. Berbagai cara untuk mempertahankan KA Parahyangan telah dilakukan, termasuk dengan potongan tarif. Sejak Maret 2008, misalnya, tarif diturunkan hingga 59 persen. Tiket KA Parahyangan kelas eksekutif turun dari Rp 50.000 menjadi Rp 35.000, kelas bisnis dewasa dari Rp 30.000 menjadi Rp 20.000, dan kelas bisnis anak dari Rp 24.000 menjadi Rp 16.000. Namun, penumpang kereta tetap sepi. Tol, tol, tol Menurut Prof Kusbiantoro, ahli Tata Kota dan Transportasi Institut Teknologi Bandung, kematian KA Parahyangan bukanlah karena persaingan yang wajar, melainkan kematian yang direncanakan. ”Karena pemerintah lebih menganakemaskan transportasi bertumpu mobil pribadi,” katanya. Kusbiantoro mengatakan, tak pernah ada persaingan sehat antara KA Parahyangan dan Jalan Tol Cipularang. ”Bagaimana kereta tua yang dipaksa menggunakan bahan bakar dengan harga industri disuruh bersaing dengan mobil-mobil baru yang memakai bahan bakar bersubsidi?” ujarnya. Yayat mengatakan, keberpihakan kepada jalan tol didasarkan pada kegagalan pemerintah dalam membangun infrastruktur yang baik untuk rakyat. ”Seharusnya infrastruktur itu menjadi tanggung jawab negara untuk publik yang dibangun dari pajak,” katanya. Namun, dengan dalih keterbatasan anggaran, pemerintah akhirnya melelang ”kewajiban” itu kepada swasta. ”Mulai dari air, energi, hingga transportasi diprivatisasi. Akhirnya, rakyat yang dibebani. Anda boleh pilih: jalan biasa yang macet atau pilih bayar tol,” ujarnya. Padahal, pembangunan jalan tol dengan meminggirkan kereta api, menurut Kusbiantoro, adalah pilihan keliru. ”Pilihan itu hanya didasarkan pertimbangan jangka pendek. Ini hanya menunda masalah lebih besar ke depannya seperti kemacetan dan polusi,” katanya. (AHMAD ARIF) sumber ================================================== === Ternyata para ahli sudah jeli yah, mereka tau alasan mengapa pemerintah ingin mematikan kereta api. Memang gak niat diterusin angkutan masal kereta api biar orang2 pada beli mobil pribadi Padahal negara-negara maju atau yang berpikiran maju contohnya eropa, jepang dll mengedepankan pembangunan fasilitas angkutan masal kereta dan fasilitas publik pada umumnya |
sumber |
0 comments:
Posting Komentar