Susi Pudjiastuti; Dulu Bakul Ikan, Kini Punya 50 Pesawat
Jual Cincin untuk Modal, Pinjam Bank Dianggap Gila
Keputusannya keluar dari sekolah saat masih berusia 17 tahun sangat disesalkan dua orang tuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi Pudjiastuti memiliki 50 pesawat dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas untuk melayani kebutuhan ekspor.
AGUS WIRAWAN, Pangandaran
---
ANGIN laut bertiup kencang saat pesawat Cessna yang membawa Jawa Pos mendekati Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Setelah berputar sekali di atas perairan biru, pesawat berkapasitas 10 penumpang itu lantas menukik, kemudian mendarat di bibir pantai yang indah.
Konstruksi landasan yang biasa dipakai take-off dan landing itu terbuat dari campuran pasir-batu yang dipadatkan. ''Ini bandara private (milik pribadi). Panjangnya satu kilometer,'' ujar wanita paro baya yang menyambut Jawa Pos dengan ramah.
Namanya Susi Pudjiastuti, presiden direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation yang merupakan operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan, suaranya serak-serak, namun pembawaannya supel.
Bukan hanya bahasa Inggris fasih yang keluar dari mulutnya saat berbincang dengan para pilotnya yang bule. Susi -panggilan akrabnya- juga menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-pembantunya.
''Saya suka belajar bahasa apa aja. Yang penting bisa buat marah dan memerintah. Sebab, dengan itu, saya bisa bekerja,'' ujarnya lantas tertawa.
Saat ini, wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965, tersebut memiliki 50 unit pesawat berbagai jenis. Di antaranya, Grand Caravan 208B, Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, dan Diamond DA 42. Kebanyakan pesawat itu dioperasikan di luar Jawa seperti Papua dan Kalimantan.
''Ada yang disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air. Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,'' jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan ekor menjuntai itu.
Susi tak mematok harga sewa pesawat secara khusus. Sebab, hal itu bergantung pelayanan yang diminta pihak penyewa. Biaya sewanya pun bermacam-macam, tapi rata-rata USD 400-USD 500 per jam.
''Kadang ada yang mau USD 600-USD 700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD 1.000 karena beda-beda level service yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua peranti disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,'' tegasnya.
Bakat bisnis Susi terlihat sejak masih belia. Pendirian dan kemauannya yang keras tergambar jelas saat usia Susi menginjak 17 tahun. Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika kelas II SMA. Tak mau hidup dengan cara nebeng orang tua, dia mencoba hidup mandiri. Tapi, kenyataan memang tak semudah yang dibayangkan.
''Cuma bawa ijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,'' ujarnya.
Kerja keras pun dilakoni saat itu. Mulai berjualan baju, bedcover, hingga hasil-hasil bumi seperti cengkih. Setiap hari, Susi harus berkeliling Kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan barang dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di bidang perikanan. ''Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari lihat ratusan nelayan,'' tuturnya.
Pada 1983, berbekal Rp 750 ribu hasil menjual perhiasan berupa gelang, kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran yang bekerja sebagai bakul ikan. Tiap pagi pada jam-jam tertentu, dia nimbrung bareng yang lain berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan). ''Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan, dibeli sebuah resto kecil kenalan saya,'' ungkapnya.
Tak cukup hanya di Pangandaran, Susi mulai berpikir meluaskan pasarnya hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta. Dari sekadar menyewa, dia pun lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu dan membawa ikan-ikan segarnya ke Jakarta. ''Tiap hari, pukul tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam, lalu balik lagi ke Pangandaran,'' ucapnya mengenang pekerjaan rutinnya yang berat pada masa lalu.
Meski sukses dalam bisnis, Susi mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita pengagum tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali menikah. Tapi, biduk yang dia arungi bersama tiga suaminya tak sebiru dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam.
Dari suaminya yang terakhirlah, Christian von Strombeck, si Wonder Woman itu mendapat inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan. ''Dia seorang aviation engineer,'' lanjutnya.
Christian merupakan seorang ekspatriat yang pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, sekarang PT DI). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi karena Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi. ''Restoran saya memang ramai. Sehari bisa 70-100 tamu,'' katanya.
Dengan Christian, Susi mulai berangan-angan memiliki sebuah pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta. Satu-satunya jalan, lanjut dia, adalah membangun landasan di desa-desa nelayan. ''Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke Jakarta. Kan cuma sejam,'' tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.
Berbeda jika harus memakai jalur darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan jam. Sesampai di Jakarta, banyak ikan yang mati. Padahal, jika mati, harga jualnya bisa anjlok separo.
''Kami mulai masukin business plan ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain ma orang bank dan dianggap gila. Mau beli pesawat USD 2 juta, bagaimana ikan sama udang bisa bayar, katanya,'' ujar Susi.
Baru pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman USD 4,7 juta (sekitar Rp 47 miliar) untuk membangun landasan serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan. Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. ''Tanggal 27 kami berangkatkan satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama yang mendarat di Meulabouh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air, dan tenda-tenda,'' ungkapnya.
Awalnya, Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga nonpemerintah yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh.
''Mereka mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,'' jelasnya.
Perkembangan bisnis sewa pesawat terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp 47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. ''Setahun lagi selesai. Tinggal tiga kali cicilan lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua (pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp 2 triliun. Return of investment (balik modal) kalau di penerbangan bisa 10-15 tahun karena mahal,'' katanya.
Susi tak hanya mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia merambah bisnis perkebunan. Meski begitu, dia mengakui ada banyak rintangan yang harus dilalui. ''Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di Pagandaran pada 2005. Kami sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan,'' tuturnya.
Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran, dan Jakarta-Cilacap, Susi menyatakan masih merugi. Sebab, terkadang hanya ada 3-4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata Rp 500 ribu, pendapatan itu tidak cukup untuk membeli bahan bakar. ''Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp 300 juta-Rp 400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk angkut perikanan kami,'' ujarnya.
Susi memang harus mengutamakan para pembeli ikannya karena mereka sangat sensitif terhadap kesegaran ikan. Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. ''Bisnis ikan serta lobster tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami kembangkan. Tahun depan kami harap sudah bisa memiliki 60 pesawat,'' katanya penuh optimisme. (c5/leak)
|
0 comments:
Posting Komentar