Quote: Helm AntariksaHelm yang dikenakan oleh Felix Baumgartner, dalam usahanya mengungguli rekor dunia yang tak terpecahkan selama 50 tahun, ini serupa helm para astronaut. Helm ini dilengkapi dengan tempurung serat kaca yang akan memberikan perlindungan maksimal bagi pria Austria tersebut. Tempurung helm itu terbuat dari material komposit. Visor atau kaca pelindung mata dan wajah memiliki sirkuit pemanas terintegrasi yang dapat memanaskan visor untuk mencegah terjadinya kabut atau es tanpa membuat lapisan pelindung itu meleleh. Fungsi itu amat diperlukan karena kondisi udara yang amat tipis di stratosfer akan menarik keluar panas, belum lagi perubahan temperatur yang amat cepat ketika Baumgartner jatuh dengan kecepatan supersonik. Helm itu juga akan menyuplai Baumgartner dengan oksigen 100 persen dari silinder yang dikenakannya. Selain itu, Baumgartner dapat berkomunikasi dengan pusat kendali misi dengan menggunakan mikrofon dan earphone yang dijejali dalam helm. link rencana terjunnya Spoiler for : TEMPO Interaktif, Jakarta - Felix Baumgartner tak perlu banyak berlatih soal terjun bebas. Dia telah melompat dari dua bangunan tertinggi di dunia, termasuk patung Kristus Penebus di Rio de Janeiro, yang disebutnya sebagai rekor terjun payung dari ketinggian terendah. Dia juga telah melakukan terjun payung melintasi Selat Inggris. Selain itu, ia pernah terjun ke dalam gua gelap sedalam 190 meter, yang dianggapnya sebagai lompatan tersulit sepanjang kariernya. Namun kini Fearless Felix--begitu para penggemarnya menyebut dia--menghadapi lompatan yang jauh lebih sulit, yaitu melompat dari sebuah balon helium yang terbang hingga ke stratosfer, pada ketinggian minimal 36,6 kilometer di atas permukaan bumi. Berdasarkan kalkulasi yang dilakukannya, Felix memperkirakan dalam waktu setengah menit, dia akan mencapai kecepatan 1.110 kilometer per jam. Itu berarti dia akan menjadi penerjun payung pertama yang akan memecahkan kecepatan suara. Setelah terjun bebas selama lima setengah menit, parasutnya akan mengembang dan mendaratkannya kembali ke bumi. Paling tidak begitulah rencana yang dirancang oleh Baumgartner dan tim Red Bull Stratos, yang mensponsori lompatan itu. Sesungguhnya tak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi pada Felix ketika tubuhnya harus menghadapi gelombang guncangan pada saat melampaui kecepatan suara. Lompatan supersonik yang diperkirakan berlangsung dalam beberapa bulan mendatang itu akan memecahkan salah satu rekor terawet dalam dunia penerbangan. Selama 50 tahun, tak ada manusia yang bisa melampaui rekor yang ditorehkan oleh Joe Kittinger dalam Project Excelsior Angkatan Udara Amerika Serikat, bahkan Victor Prather, anggota Angkatan Laut Amerika Serikat yang berusaha memecahkan rekor itu, harus kehilangan nyawanya. Pada 1960, Kittinger, yang saat itu berusia 32 tahun dan menjadi pilot Angkatan Udara Amerika, melompat dari balon yang mengudara setinggi 31.333 meter di atas Gurun New Mexico. Kittinger, yang kini telah berusia 81 tahun, juga bergabung dalam tim Red Bull Stratos. "Selama 50 tahun, saya telah menerima telepon dari seluruh dunia: orang ingin memecahkan rekor saya," kata Kittinger. "Sekali dalam sebulan, kadang dua kali sebulan. Tapi saya diam saja karena mereka tak punya gagasan tentang tantangan apa yang mereka hadapi. Hal yang menarik saya pada Red Bull adalah pendekatan metodologis pada keselamatan dan manfaat ilmiahnya." Lebih dari 30 veteran Badan Antariksa Amerika (NASA), angkatan udara, dan industri antariksa telah bekerja sama selama tiga tahun untuk merencanakan lompatan supersonik itu, termasuk membuat balon dan kapsul bertekanan, serta seperangkat setelan astronaut untuk Baumgartner. Tak semata-mata bertujuan memecahkan rekor, mereka juga mengadakan riset psikologis dan mengembangkan prosedur bagi astronaut di masa depan, ketika menghadapi hilangnya tekanan kabin atau situasi darurat di stratosfer. Salah satu masalah besar yang harus diatasi adalah menghindari masalah yang hampir merenggut nyawa Kittinger dalam Project Excelsior. Waktu itu lompatannya seharusnya distabilkan oleh sebuah parasut kecil. Tetapi dalam sebuah latihan, parasut itu tak terbuka, karena talinya membelit leher Kittinger. Akibatnya, tubuh Kittinger berputar hingga 120 putaran per menit ketika dia jatuh lebih dari 18,2 kilometer. Dia pingsan dan kesadarannya baru pulih setelah parasut cadangannya secara otomatis terkembang sekitar 1,6 kilometer di atas permukaan bumi. Belajar dari pengalaman Kittinger, Baumgartner berharap dapat tetap stabil dan sadar sepanjang lompatan tanpa harus mengandalkan parasut drogue untuk mengurangi efek gesekan. Dia berencana menghindari kemungkinan berputar dengan menyesuaikan sudut tubuh dan menjaga kedua lengannya tetap berada di samping. Teknik menstabilkan diri ini mungkin telah dikuasai luar-dalam oleh seorang pakar seperti Baumgartner, 41 tahun, mantan penerjun Austrian Special Forces dan telah 2.500 kali terjun dari pesawat, tebing, dan gedung tinggi. Namun keterampilan saja tidak cukup untuk melindungi dirinya dari kondisi nyaris hampa udara dan temperatur membekukan di stratosfer, dan dia membutuhkan setelan bertekanan serta sebuah helm dengan pengunci khusus. Baumgartner telah mencoba mengenakan semua perlengkapan itu dalam sebuah terowongan angin di Perris, California, untuk menguji apakah perlengkapan itu tak mengganggu gerakan manuvernya. Untuk memastikan keselamatan pria Austria itu, tim sains Red Bull Stratos memasok oksigen ke dalam helmnya dan menempelkan peralatan untuk merekam denyut jantung ke dada Baumgartner, serta memasang satelit GPS untuk melacak posisinya. Sebuah pemanas khusus digunakan untuk visor helm agar mencegah timbulnya kabut. Pada saat dikenakan, setelan itu dikembungkan mencapai tekanan 0,2 kilogram per sentimeter persegi. Baumgartner terlihat seperti tokoh Incredible Hulk versi robot, yang membuatnya sulit berjalan. Namun begitu terapung di udara karena tiupan blower 209 kilometer per jam, dia berhasil mempertahankan posisi anak panah. "Memang sulit, tapi bisa dilakukan," kata Baumgartner. "Sekarang saya yakin bisa menangani pakaian ini dalam terjun bebas biasa, bukan melampaui kecepatan suara. Tetapi begitu pindah dari subsonik menjadi transonik dan mencapai supersonik, kami tak yakin apa yang bakal terjadi." Sejumlah pesawat terbang telah melampaui batas kecepatan suara, namun belum ada manusia yang mencapai kecepatan transonik, kata Art Thompson, Direktur Teknis Proyek Red Bull Stratos, dan mantan insinyur Northrop, yang mengerjakan pesawat pengebom siluman B-2. "Tubuh manusia berbeda dengan permukaan keras atau bentuk balistik," katanya. "Anda menghadapi helm bulat dan lengan serta kaki yang mencuat keluar, dan segala sesuatu berlangsung pada waktu berbeda. Bagian tubuh Anda mungkin telah mencapai supersonik, sedangkan lainnya belum, menyebabkan gelombang tidak beraturan menarik ke belakang dan ke depan." Tak ada yang tahu apakah gelombang itu berbahaya bagi tubuh, maupun peluangnya menciptakan turbulensi yang berbahaya. "Kami tak tahu apa yang akan terjadi pada Felix dan setelan itu ketika dia mencapai kecepatan supersonik," kata Mike Todd, insinyur Stratos lain yang menangani setelan high-altitude bagi pilot pesawat pengintai Angkatan Udara Amerika. "Felix bisa saja menembusnya, tapi jika sebagian setelan itu supersonik dan sebagian lainnya belum, mungkin akan terjadi turbulensi yang bakal membuatnya kehilangan kendali." Risiko semacam itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa rekor Kittinger tetap tak terpecahkan hingga setengah abad. |
sumber |
0 comments:
Posting Komentar