Anda lapar, dan tak punya banyak waktu untuk memasak? Gampang. Saat ini ada banyak makanan seperti mie, bubur, bahkan nasi goreng, tentunya juga instan, tersedia di swalayan-swalayan hingga ke warung-warung dekat rumah. Saat ini, budaya instan bukan hanya menjadi dominasi urusan perut. Bahkan, sekarang, kita cenderung menginginkan hasil instan di seluruh kehidupan kita.
Ingin kaya dengan cara instan yang minim usaha? Gampang. Banyak paranormal yang memasang iklan siap membantu peruntungan kita. Ingin lulus ujian nasional dengan cara instan? Mudah saja. Tinggal kerja sama dengan oknum yang ada untuk mendapatkan bocoran kunci jawaban, seperti yang marak diberitakan belakangan ini. Di lapangan hijau, penyakit ini juga sudah merambah. Ingin berprestasi secara instan? Cukup keluarkan uang dalam jumlah besar. Boronglah semua pemain terbaik ke klub anda. Mudah dan simpel. Tak perlu repot-repot mengurusi masalah pembibitan dan regenerasi pemain.
Hal seperti ini bisa dengan mudah bisa dengan mudah kita lihat di dataran Eropa, sebuah tempat di mana sepak bola telah menjadi industri yang berkait dengan uang miliaran pounds.
Di Liga Inggris, kita bisa melihat fenomena Manchester City, Chelsea, dan Liverpool. Ketiga klub tersebut dikenal sebagai klub yang suka sekali membeli prestasi dengan mendatangkan pemain bintang berharga mahal.
Manchester City, dengan kekuatan uangnya berusaha memboyong pemain terbaik yang mereka bisa. Tujuannya hanya satu. Menjadi juara di Liga Inggris secepat-cepatnya. Bahkan, ambisi pemilik City, yang juga jutawan asal Abu Dhabi, Sheikh Mansour bin Zayed ini pernah menyatakan bahwa uang berapapun tidak menjadi masalah baginya, asalkan pemain terbaik berlabel bintang bisa didapat sebagai sarana untuk menaikkan prestise dan prestasi klubnya.
Kondisi ini, terjadi pula di Liverpool. Sejak Rafael Benitez memegang tampuk kepelatihan The Reds, tahun 2004 hingga akhir musim lalu, telah puluhan pemain berlabel bintang malang-melintang di Anfield. Namun, nyaris tak pernah terlihat pemain muda didikan akademi Liverpool yang mampu bermain di klub legendaris Inggris tersebut. Padahal, bersama Ajax Amsterdam, klub ini pernah menjadi klub dengan akademi pemain muda terbaik di dunia. Sungguh ironis.
Jawara Liga Inggris musim ini, Chelsea, juga sempat merasakan periode serupa. Ketika Roman Abramovich baru membeli klub ini, sederetan pemain bintang juga didatangkan ke Stamford Bridge. Alih-alih prestasi, datangnya para pemain bintang ini justru menyingkirkan para pemain asli Inggris, sehingga hanya meninggalkan John Terry sebagai satu-satunya pemain asli Inggris di line-up The Blues.
Kondisi paling mencolok terjadi di Real Madrid. Bisa dilihat ketika Florentino Perez kembali memgang jabatan presiden Madrid, berapa jumlah uang yang dia keluarkan untuk melanjutkan proyek Galacticos-nya. Tak kurang dari 480,3 juta Pounds telah dikeluarkannya untuk memboyong 24 pemain bintang dalam dua kali masa kepemimpinannya di Santiago Bernabeu. Seiring dengan hal itu, kita tidak lagi bisa menyaksikan pemain muda yang bakal melanjutkan kesuksesan Raul Gonzales, sebagai pemain asli didikan El Real yang menjadi ikon klub tersebut.
Kondisi ini, tak luput juga berlangsung di daratan Italia. Yang paling ironis, terjadi di klub yang meraih gelar treble musim lalu, Inter Milan. Klub bernama lengkap Football Club Internazionale Milano ini benar-benar menjadi klub yang 'internasional', seperti namanya. Dari starting eleven yang biasa diturunkan sang pelatih musim lalu, Jose Mourinho (yang juga bukan orang Italia, tidak ada satupun pemain didikan Inter bahkan pemain berkewarganegaraan Italia.
Di ajang Piala Dunia 2010, timnas Inggris, yang merupakan salah satu unggulan, mengalami krisis pemain di posisi penjaga gawang. Semenjak pensiunnya David Seaman, otomatis, Three Lions tak lagi memiliki sosok tangguh untuk mengawal gawang mereka. Alhasil, berkat penjaga gawang berkualitas seadanya, Inggris harus terpeleset di laga pertama mereka, ketika Robert Green melakukan sebuah blunder memalukan.
Paceklik kiper di timnas Inggris ini membuat seorang pelatih kawakan Inggris, Harry Redknapp angkat bicara. Menurut pelatih Tottenham ini, situasi mengenaskan ini disebabkan dominasi kiper asing di Liga Inggris, sehingga tidak ada kesempatan bagi kiper Inggris untuk berkembang.
"Lihatlah klub-klub top di Inggris. Semuanya, termasuk Tottenham, menggunakan kiper asing."
"Jadi, yang harus dipikirkan Capello dan FA adalah membuat sebuah rencana untuk menghasilkan Shilton baru dan Banks baru,"ujarnya.
Sementara itu, Italia? Rasanya sudah tak perlu dijelaskan lagi bagaimana babak belurnya Italia di ajang ini. Bahkan, juara bertahan Piala Dunia itu harus tersingkir di fase grup. Tentu saja banyak yang mengkritik loyonya penampilan anak asuh Marcelo Lippi ini. Namun, banyak lagi yang menyatakan bahwa hal ini tak lepas dari kurangnya bibit muda berpotensi yang bisa mekar di kerasnya persaingan Liga Italia.
Bagi presiden FIGC, Giancarlo Abete, loyonya penampilan Italia dan sebagian besar timnas negara Eropa, disebabkan karena mereka kena tulah ulah mereka sendiri. Bagi Abete, tidak adanya proses pembibitan dan regenerasi yang bagus membuat timnas harus kelabakan mencari bibit unggul, untuk menggantikan pemain senior yang telah menurun kemampuannya.
Namun, memang tidak mudah untuk mengembalikan pembibitan sepak bola pada jalur idealnya. Pasalnya, di era kapitalis ini, dengan mudah, uang bisa menjadi jawaban dari semua pertanyaan. Buat apa susah-susah berjudi untuk menginvestasikan uang pada pembinaan pemain muda yang belum tentu berhasil? Tentu bakal lebih mudah dan terjamin apabila langsung merekrut pemain yang telah memiliki nama besar.
"Real Madrid, sebagai contoh, memiliki anggaran delapan kali lebih besar ketimbang federasi Spanyol. Tidak ada orang yang bisa menghentikan sebuah klub yang ingin meraih banyak gelar, dibandingkan dengan perhatian terhadap pemain muda Spanyol, termasuk Presiden UEFA, Michel Platini," ujar Abete, dengan nada pesimis.
Lalu, harus pesimiskah kita dengan kenyataan seperti ini? Apa yang harus kita lakukan agar sepak bola kembali menjadi hal yang menawarkan kesempatan bagi semua orang, dan bukan hanya segelintir saja?
Terus terang hingga saat ini, saya masih belum menemukan jawabannya. Mungkin, kita harus mengembalikan sepak bola sebagai sebuah olahraga dan hiburan, bukan sekedar komoditas bisnis semata. Selain itu, mungkin, kita juga harus mengembalikan olahraga ini pada para pecintanya, bukan menyerahkannya pada para pengusaha, yang hanya mengeruk keuntungan dari hal ini.
Namun, siapkah kita melawan logika profesionalisme sepak bola? Yang paling penting, bagi penggemar sepak bola, sudah siapkah kita melihat klub kesayangan kita mengalami paceklik gelar, namun selalu menghasilkan pemain bintang?
Sementara pusing mencari solusi masalah ini, izinkanlah saya menyeduh kopi terlebih dahulu. Kopi yang bukan instan tentunya.
*Penikmat kopi seduh dan sepak bola*
0 comments:
Posting Komentar