JAKARTA – Tidak ada makan siang gratis. Pameo itu berlaku juga di jajaran kepolisian. Mulai dari rekrutmen, pendidikan, belanja barang, hingga kenaikan pangkat dan mutasi jabatan, semua ada biayanya. Bahkan untuk mendapatkan jabatan Kapolres, perlu mengeluarkan uang lebih dari Rp 100 juta. Hal itu diungkapkan anggota Komisi III DPR bidang hukum Nasir Djamil pada diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Minggu (27/6). "Seorang AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) bercerita kepada saya telah mengeluarkan uang hampir Rp 100 juta tapi tidak dimutasi juga,” katanya.
Politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyebutkan, untuk rekruitmen polisi baru dibebankan Rp 30 sampai Rp 60 juta. ”Momentum Susno sebetulnya bisa dijadikan untuk melakukan perubahan di tubuh Polri, tapi oleh Kapolri ditanggapi sebagai masalah internal sehingga muncul keraguan untuk memberantas praktek duagaan korupsi. Perubahan yang dilakukan memang sudah ada seperti pelayanan SIM keliling tapi itu bukan sesuatu yang istimewa,” ulasnya.
Karena itu Nasir mengatakan perlunya revisi UU Kepolisian. Alasannya, saat ini regulasi tersebut justru melegitimasi kewenangan Polri yang sangat luas mulai dari persoalan lalu lintas, kriminal, tindak pidana khusus, bahkan soal laut juga diurus oleh korps bhayangkara karena punya satuan Polairud.
Sementara pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, ada empat faktor yang mengkondisikan ditubuh kepolisian sehingga terjadi praktek-praktek korupsi. Pertama, wilayah kerja yang cenderung tertutup. Kedua, keberadaan diskresi yang memberikan kewenangan polisi lebih luas.
Ketiga adalah supervisi yang tidak memadai. Faktor terakhir, kecendrungan organisasi kepolisian yang eksklusif. “Berdasarkan hasil survei pihak yang paling parah adalah pangkat satu tingkat di atas bawahan,” ujarnya.
Sehubungan dengan itu, kata pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu, untuk melakukan perubahan di tubuh Polri serta menciptakan polisi yang handal dan profesional, perlu adanya kurikulum anti-korupsi pada Lembaga Pendidikan dan Latihan (Lemdiklat) Polri mulai dari Sekolah Polisi Negara (SPN), Akademi Polisi (Akpol) dan PTIK dengan kurikulumnya. ”Tidak ada usaha yang serius untuk membuat kurikulum anti korupsi,” katanya.
Reza mencontohkan sistem Lemdiklat di Jepang. Kata dia, di negeri Sakura itu polisi mendapatkan teori selama tiga bulan. Setelah itu berbaur dengan masyarakat kemudian kembali lagi belajar untuk melakukan penajaman pengalaman dan teori. ”Jadi Lemdiklat itu bukan lagi tempatnya polisi jelang pensiun dan tempat polisi yang bermasalah,” tambahnya.
Politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyebutkan, untuk rekruitmen polisi baru dibebankan Rp 30 sampai Rp 60 juta. ”Momentum Susno sebetulnya bisa dijadikan untuk melakukan perubahan di tubuh Polri, tapi oleh Kapolri ditanggapi sebagai masalah internal sehingga muncul keraguan untuk memberantas praktek duagaan korupsi. Perubahan yang dilakukan memang sudah ada seperti pelayanan SIM keliling tapi itu bukan sesuatu yang istimewa,” ulasnya.
Karena itu Nasir mengatakan perlunya revisi UU Kepolisian. Alasannya, saat ini regulasi tersebut justru melegitimasi kewenangan Polri yang sangat luas mulai dari persoalan lalu lintas, kriminal, tindak pidana khusus, bahkan soal laut juga diurus oleh korps bhayangkara karena punya satuan Polairud.
Sementara pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, ada empat faktor yang mengkondisikan ditubuh kepolisian sehingga terjadi praktek-praktek korupsi. Pertama, wilayah kerja yang cenderung tertutup. Kedua, keberadaan diskresi yang memberikan kewenangan polisi lebih luas.
Ketiga adalah supervisi yang tidak memadai. Faktor terakhir, kecendrungan organisasi kepolisian yang eksklusif. “Berdasarkan hasil survei pihak yang paling parah adalah pangkat satu tingkat di atas bawahan,” ujarnya.
Sehubungan dengan itu, kata pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu, untuk melakukan perubahan di tubuh Polri serta menciptakan polisi yang handal dan profesional, perlu adanya kurikulum anti-korupsi pada Lembaga Pendidikan dan Latihan (Lemdiklat) Polri mulai dari Sekolah Polisi Negara (SPN), Akademi Polisi (Akpol) dan PTIK dengan kurikulumnya. ”Tidak ada usaha yang serius untuk membuat kurikulum anti korupsi,” katanya.
Reza mencontohkan sistem Lemdiklat di Jepang. Kata dia, di negeri Sakura itu polisi mendapatkan teori selama tiga bulan. Setelah itu berbaur dengan masyarakat kemudian kembali lagi belajar untuk melakukan penajaman pengalaman dan teori. ”Jadi Lemdiklat itu bukan lagi tempatnya polisi jelang pensiun dan tempat polisi yang bermasalah,” tambahnya.
0 comments:
Posting Komentar