Setangkup nostalgia pelabuhan lama Ampenan yang kental nuansa multi-etnis. Gurat sejarah merapuh oleh kekinian, tetapi bangunan berlanggam colonial terus berdiri.
Menapaki Orisinalitas pelabuhan Ampenan bisa diawali dari Simpang Lima yang menghubungkan beberapa ruas sekaligus. Di antaranya Jl. Saleh Sungkar, Yos Sudarso, Pabean, Niaga & koperasi. Bangunan berlanggam Art Deco serta deretan pohon palem mengantar pada suasana nostalgis masa kolonial berpuluh tahun lalu
Dari sebuah jurnal majalah Tempo tahun 1973 disebutkan, ‘Pelabuhan yang memenuhi syarat buat kegiatan bongkar muat di Lombok Cuma dua : Ampenan & lembar, terletak di pantai barat Pulau Lombok. Pelabuhan Ampenan & Lembar di pulau Lombok, selama Januari – Oktober tahun lalu mencatat 459 kapal yang singgah di sana plus 527 perahu’.
Di masa Belanda, sekitar tahun 1948 – 1950, berdiri sebuah dermaga di pelabuhan Ampenan. Cuma patok2 besinya yang tersisa kini. Sebuah mesin pengerek atau katrol dipasang di ujung, untuk menaikturunkan blongko-semacam kayu gelondong kayu besar dilubangi hingga menyerupai tongkang. Benda ini ditarik perahu motor ke kapal yang lego jangkar, untuk dimuati berbagai barang & dinaikkkan ke dermaga dengan dikatrol tadi.
Sayang, semua aktivitas pelabuhan Ampenan surut seiring waktu. Jurnal di majalah Tempo 1973 menulis, ‘fungsinya seratus prosen dialihkan ke pelabuhan Lembar. Lagipula jembatan pelabuhan Ampenan sejak beberapa tahun terakhir ini mengalami rusak berat … rencana menanggulanginya, yaitu berupa niat membuat jembatan terapung-semacam jembatan di Ketapang Banyuwangi’.
Bangunan Art Deco dua lantai yang menghadap ke jalan Pabean, menjadi penanda pelabuhana Ampenan. Sepanjang ruas Jalan Pabean mengarah ke pelabuhan, adalah potret sisi kota terlupakan. Dalam bisu, deretan banguan tua berlanggam colonial seolah ingin menyuarakan fungsinya di masa lalu. Pada zaman, ketika pelabuhan melakukan aktivitas dan dipenuhi pekerja. Tampaknya beberapa resto, took roti, salon kecantikan serta rumah tinggal keluarga TiongHoa. Hunian mereka dicirikan oleh ruang tamu sempit, dengan altar kecil dipenuhi potret anggota keluarga telah tiada, guci berisi abu jenazah, lilin-lin merah, kembang dalam vas ditambah hio atau dupa.
Kondisi Multi-Etnis pelabuhan Ampenan tak ubahnya ruang miniature keberadaan rak ubahnya ruang miniature keberadaan berbagai suku bangsa Tanah Air. Tengok saja beberapa nama, seperti kampug Arab, kampong Melayu Bangsal, komunitas pecinaan, klenteng Bodhi Dharma, peribadatan Hindu bernama Pura Segara sampai makam TiongHoa & muslim.
Bisnis yang dijalankan warga Tionghoa di pelabuhan lama Ampenan, tetap terlihat hingga kini. Termasuk seperti kulakan; membeli ikan-ikan segar atau hasil olahan untuk dijual kembali. Sedang bagi warga perkampungan Melayu Bangsal, datangnya petang merupakan momentum untuk menambah penghasilan, lewat ajang berjualan aneka makanan. Mulai kedai ikan bakar, beberapa masakan rumahan khas Lombok, sampai aneka minuman ringan, mie instan, serta produk kudapan kemasan terlihat di sepanjang pesisir yang mengarah ke bagian belakang depo Pertamina. Gerobak-gerobak pedagang bakso & Kelapa muda juga ikut bergabung.
Diberi perhatian atau tidak, pelabuhan Ampenan tetap memberi kehidupan bagi mereka yang bermukim di sana. Setia menyodorkan potret surya tenggelam, dan nostalgia meruap dari sosok-sosok bangunan tua berlanggam kolonialnya. Bisakah nilai-nilai keabadian bernaung pada atap-atap gedung pergudangan dan perkantoran tua sepanjang Jalan Pabean tanpa tergilas kekinian ?? seandainya saja pelabuhan kecil itu bisa menggeliat kembali. Menyuarakan keberadaannya yang telah ada sejak berabad lampau.
0 comments:
Posting Komentar